top of page

Harga Pokok Produksi: Mengapa Penting untuk Profit Bisnis

ree

Pengantar: Apa Itu HPP

Bayangkan Anda sedang menjalankan bisnis jualan nasi goreng. Untuk bisa menyajikan satu piring nasi goreng ke meja pelanggan, Anda tentu butuh modal, kan? Anda harus beli beras, telur, bumbu, gas, hingga membayar orang yang memasaknya. Nah, total biaya "mentah" yang Anda keluarkan khusus untuk membuat satu piring nasi goreng itulah yang kita sebut sebagai Harga Pokok Produksi (HPP).

 

Secara sederhana, HPP adalah total biaya langsung yang dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa yang dijual. Penting untuk dicatat bahwa HPP berbeda dengan biaya operasional seperti biaya sewa ruko atau biaya iklan di Instagram. HPP hanya menghitung biaya yang benar-benar "nempel" di produknya. Kalau Anda tidak jualan satu piring pun hari itu, HPP Anda nol, tapi biaya sewa ruko tetap jalan.

 

Kenapa pengusaha wajib tahu HPP? Karena HPP adalah fondasi utama. Tanpa tahu HPP, Anda seperti berjalan dalam gelap. Anda tidak tahu apakah harga jual yang Anda pasang itu sebenarnya untung atau malah "nombok". Banyak bisnis yang kelihatannya laris manis, setiap hari banyak orderan, tapi di akhir bulan saldonya malah minus. Kenapa? Bisa jadi karena mereka tidak tahu HPP-nya, sehingga mereka menjual barang di bawah modal aslinya tanpa disadari. Jadi, menguasai HPP bukan cuma soal akuntansi, tapi soal bertahan hidup di dunia bisnis.

 

Komponen Utama HPP

Untuk menghitung HPP dengan benar, Anda tidak boleh asal tebak. Ada tiga komponen besar yang biasanya membentuk angka HPP ini. Mari kita bedah satu per satu agar tidak ada biaya yang "terlupakan".

  • Biaya Bahan Baku (Raw Materials): Ini adalah komponen yang paling kelihatan. Kalau Anda bikin baju, ya berarti harga kain, kancing, dan benangnya. Kalau Anda jualan kopi susu, ya berarti harga biji kopi, susu, dan gulanya. Ingat, hitunglah sampai ke detail terkecil. Kadang biaya sedotan atau stiker di cup plastik sering terlupakan, padahal itu bagian dari HPP.

  • Biaya Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor): Ini adalah upah yang diberikan kepada orang yang benar-benar membuat produk tersebut. Kalau di warung makan, ya si koki atau tukang masaknya. Kalau Anda punya konveksi, ya tukang jahitnya. Gaji admin sosmed atau satpam kantor tidak masuk ke sini, karena mereka tidak ikut menjahit bajunya.

  • Biaya Overhead Pabrik: Ini adalah biaya "pendukung" yang muncul saat proses produksi tapi tidak terlihat langsung di fisik produknya. Contohnya apa? Listrik untuk menjalankan mesin jahit, gas untuk kompor, air untuk cuci peralatan, hingga penyusutan alat (misalnya mesin kopi yang makin lama makin aus). Biaya ini seringkali dianggap sepele, padahal kalau dikumpulkan jumlahnya bisa sangat besar dan menguras profit jika tidak dimasukkan ke perhitungan HPP.

 

Jika salah satu dari tiga hal ini luput dari hitungan, maka angka HPP Anda akan menjadi "palsu". HPP yang tidak akurat akan memberikan rasa aman yang semu, yang pada akhirnya bisa membahayakan masa depan bisnis Anda.

 

Studi Kasus: HPP Tidak Akurat dan Kerugiannya

Mari kita ambil contoh nyata: "Katering Mbak Siti". Mbak Siti jualan nasi kotak seharga Rp20.000. Dia menghitung modalnya cuma beras, ayam, dan sayur sebesar Rp12.000. Mbak Siti senang sekali, dia pikir untungnya gede, Rp8.000 per kotak. Pesanan pun membludak, dalam sebulan dia bisa jual 1.000 kotak. Logikanya, dia harusnya pegang untung Rp8 juta, kan?

 

Tapi anehnya, di akhir bulan Mbak Siti malah pusing karena uangnya habis buat bayar tagihan listrik yang melonjak, beli gas yang terus-terusan habis, bayar kurir, dan biaya kotak nasi serta kantong plastik yang ternyata harganya lumayan mahal. Setelah dihitung ulang dengan teliti, ternyata biaya gas, listrik, kemasan, dan upah asisten masaknya kalau dibagi per kotak adalah Rp7.000.

 

Jadi, HPP asli Mbak Siti bukan Rp12.000, melainkan Rp19.000 (12.000 + 7.000). Artinya, untung bersihnya cuma Rp1.000 per kotak! Dari rencana untung Rp8 juta, kenyataannya Mbak Siti cuma dapat Rp1 juta. Padahal tenaga yang dikeluarkan sangat besar untuk 1.000 kotak. Belum lagi kalau ada kenaikan harga cabai atau ayam, Mbak Siti bisa langsung rugi alias nombok. Inilah bahayanya kalau HPP tidak akurat. Anda merasa kaya di atas kertas, tapi kenyataannya bisnis Anda sedang "berdarah-darah" secara finansial.

 

Cara Menghitung HPP dengan Tepat

Menghitung HPP itu sebenarnya ada rumusnya, tapi jangan pusing dulu dengan istilah akuntansinya. Mari kita gunakan logika sederhana. HPP itu intinya adalah menghitung berapa nilai barang yang benar-benar keluar/terjual dari gudang Anda selama satu periode.

 

Rumus standarnya adalah:

HPP = (Persediaan Awal + Pembelian Bersih) - Persediaan Akhir

 

Mari kita artikan dengan bahasa sehari-hari:

  1. Persediaan Awal: Lihat di awal bulan, Anda punya stok barang/bahan baku senilai berapa? Misalnya, di kulkas masih ada stok daging dan bumbu senilai Rp1 juta.

  2. Pembelian Bersih: Selama bulan tersebut, berapa banyak lagi modal yang Anda keluarkan buat belanja bahan baku? Katakanlah Anda belanja lagi senilai Rp5 juta. Jadi, total barang yang "siap dimasak" adalah Rp6 juta (1.000.000 + 5.000.000).

  3. Persediaan Akhir: Di akhir bulan, cek lagi sisanya. Ternyata masih ada stok senilai Rp1,5 juta yang belum terpakai.

  4. Hasilnya: Berapa modal yang benar-benar terpakai jadi masakan? Ya tinggal Rp6.000.000 - Rp1.500.000 = Rp4.500.000. Nah, itulah HPP Anda bulan itu.

 

Kenapa harus pakai cara ini? Karena seringkali apa yang kita beli tidak semuanya langsung terjual habis bulan itu juga. Dengan rumus ini, angka keuntungan yang Anda dapatkan di laporan keuangan jadi lebih jujur karena benar-benar membandingkan barang yang terjual dengan modal yang terpakai untuk barang tersebut.

 

Hubungan HPP dengan Harga Jual

HPP adalah "lantai" Anda, sedangkan harga jual adalah "atapnya". Selisih antara lantai dan atap inilah yang kita sebut dengan keuntungan kotor (Gross Profit). Kalau lantai Anda terlalu tinggi (HPP mahal) tapi atapnya rendah (harga jual murah), Anda bakal terjepit dan tidak punya ruang buat bernapas, alias tidak bisa membayar biaya lain-lain seperti gaji admin atau sewa tempat.

 

Bagaimana cara menentukan harga jual yang pas berdasarkan HPP? Ada dua pendekatan umum:

  • Markup Pricing: Anda ambil HPP, lalu tambahkan persentase keuntungan yang diinginkan. Misalnya, HPP baju Rp100.000, Anda ingin markup 50%, maka harga jualnya jadi Rp150.000.

  • Margin Pricing: Anda melihat harga pasar dulu. Misalnya, harga pasar keripik adalah Rp20.000. Jika HPP Anda Rp15.000, berarti Anda punya margin Rp5.000 (25%). Cukup tidak buat operasional? Kalau tidak cukup, pilihannya cuma dua: naikkan harga atau turunkan HPP.

 

Memahami hubungan ini sangat penting saat Anda ingin mengadakan diskon. Banyak pebisnis asal ikut-ikutan kasih diskon 50% tanpa cek HPP. Padahal bisa jadi setelah diskon, harga jualnya malah di bawah HPP. Itu namanya bukan promosi, tapi bagi-bagi sedekah yang bisa bikin bisnis bangkrut. Harga jual harus selalu bisa menutupi HPP dan memberikan margin yang sehat untuk biaya operasional lainnya.

 

Efisiensi Produksi untuk Menekan HPP

Tujuan setiap pebisnis biasanya adalah mendapatkan profit sebesar mungkin. Kalau Anda sulit menaikkan harga jual karena takut pelanggan kabur, maka cara paling ampuh adalah dengan menekan HPP. Tapi ingat, menekan HPP bukan berarti menurunkan kualitas barang secara asal-asalan, lho ya.

 

Inilah cara cerdas melakukan efisiensi produksi:

  • Beli Bahan Baku dalam Jumlah Besar (Bulk Buying): Biasanya kalau beli 1 kuintal beras, harganya lebih murah daripada beli 1 kg. Ini langsung menurunkan HPP per porsi.

  • Kurangi Limbah (Waste): Misalnya Anda bisnis roti. Kalau banyak adonan yang terbuang atau roti yang gosong karena pegawai kurang teliti, itu artinya HPP Anda membengkak. Memperbaiki cara kerja agar tidak banyak bahan terbuang adalah cara gratis menurunkan HPP.

  • Investasi Alat yang Lebih Efisien: Mungkin mesin kopi manual Anda bikin proses pembuatan lama dan boros listrik. Ganti ke mesin yang lebih otomatis dan hemat energi mungkin butuh modal di awal, tapi dalam jangka panjang akan menurunkan biaya per cangkir kopi.

  • Negosiasi dengan Supplier: Jangan ragu untuk minta harga langganan atau cari supplier tangan pertama. Selisih Rp500 saja per bahan baku, kalau dikali ribuan produk, hasilnya sangat signifikan untuk profit Anda.

 

Semakin kecil HPP Anda dengan kualitas yang tetap terjaga, semakin lebar "ruang napas" bisnis Anda untuk tumbuh.

 

Sistem Penilaian Persediaan (FIFO, LIFO, WA)

Mungkin terdengar teknis, tapi ini penting jika harga bahan baku di pasar sering berubah-ubah. Misalnya, minggu lalu harga cabai Rp40.000, minggu ini naik jadi Rp60.000. Stok di kulkas Anda tercampur. Pakai harga yang mana buat hitung HPP?

 

Ada tiga cara umum:

  • FIFO (First In, First Out): Artinya, barang yang pertama kali dibeli, itulah yang dianggap keluar pertama kali. Ini paling cocok buat bisnis makanan agar bahan tidak cepat busuk. Secara akuntansi, di saat harga barang naik terus, FIFO biasanya bikin HPP kelihatan lebih kecil (karena pakai harga lama yang murah) dan untung kelihatan lebih besar.

  • LIFO (Last In, First Out): Barang yang terakhir dibeli, dianggap keluar duluan. Di Indonesia, cara ini sudah jarang dipakai dalam standar akuntansi pajak karena seringkali bikin laba jadi kelihatan sangat kecil.

  • Weighted Average (WA): Ini cara yang paling "aman" dan simpel buat pemula. Anda tinggal rata-ratakan saja semua harga beli. Jadi kalau beli cabai Rp40.000 dan Rp60.000, harga rata-ratanya jadi Rp50.000.

 

Pilihlah satu metode yang paling pas dan pakailah secara konsisten. Konsistensi ini penting agar laporan keuangan Anda tidak berantakan dan Anda punya data yang akurat buat membandingkan kinerja bisnis dari bulan ke bulan.

 

Dampak HPP pada Laba Bersih

HPP adalah faktor penentu paling dominan dalam laporan laba rugi. Jika HPP Anda "bengkak", maka laba bersih Anda pasti "kurus". Mari kita lihat urutannya:

  1. Penjualan - HPP = Laba Kotor.

  2. Laba Kotor - Biaya Operasional (Sewa, Gaji, Iklan) = Laba Bersih.

 

Banyak pengusaha terlalu fokus pada biaya operasional seperti memotong biaya iklan atau sewa kantor yang lebih murah. Padahal, seringkali pos pengeluaran terbesar adalah di HPP. Coba bayangkan jika Anda jualan barang dengan margin laba kotor hanya 10% karena HPP terlalu tinggi. Itu artinya, dari setiap Rp100.000 yang Anda dapat, cuma Rp10.000 yang tersisa buat bayar gaji, sewa, listrik, dan untung buat Anda sendiri. Sangat tipis, bukan?

 

Sedikit saja kenaikan harga bahan baku tanpa diiringi penurunan HPP di sisi lain, bisa langsung menghapus seluruh laba bersih Anda. Makanya, memantau HPP secara harian atau mingguan adalah hal wajib. HPP yang terkendali memberikan perlindungan terhadap biaya operasional yang tak terduga. Semakin efisien HPP, semakin kuat daya tahan bisnis Anda saat menghadapi krisis atau persaingan harga yang sengit di luar sana.

 

Kesalahan Umum dalam Menghitung HPP

Banyak pebisnis pemula terjebak dalam kesalahan perhitungan yang fatal. Berikut beberapa di antaranya yang harus Anda hindari:

  • Lupa Menghitung Ongkos Kirim Bahan Baku: Anda beli tepung murah dari luar kota, tapi ongkirnya mahal. Jika ongkirnya tidak dimasukkan ke harga beli bahan baku, HPP Anda jadi salah. Harga beli bahan baku seharusnya adalah harga sampai di gudang Anda (landed cost).

  • Tidak Menghitung Barang Rusak atau Hilang: Kalau ada stok yang busuk, pecah, atau hilang dicuri, itu harus tetap masuk hitungan HPP karena modalnya sudah keluar tapi barangnya tidak menghasilkan uang.

  • Hanya Menghitung Bahan Baku Utama: Seperti contoh nasi goreng tadi, bumbu, saus, dan kantong plastik tetap harus masuk hitungan meskipun nilainya kecil per porsinya.

  • Mencampuradukkan Bisnis dan Pribadi: Ini penyakit paling umum. Bahan baku bisnis dipakai buat masak di rumah tapi tidak dicatat sebagai pengeluaran pribadi. Akibatnya, stok akhir di laporan beda dengan stok fisik, dan HPP pun jadi ngawur.

 

Menghindari kesalahan-kesalahan ini akan membuat data bisnis Anda jauh lebih bersih dan bisa dipercaya. Data yang salah hanya akan menghasilkan keputusan yang salah.

 

Kesimpulan: HPP sebagai Dasar Keputusan Bisnis

Sebagai penutup, anggaplah HPP sebagai kompas dalam menjalankan bisnis Anda. Tanpa kompas ini, Anda tidak akan tahu arah mana yang benar. HPP bukan sekadar angka untuk laporan pajak, tapi alat bantu untuk mengambil keputusan besar.

 

Dengan mengetahui HPP yang akurat, Anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan strategis seperti:

  • "Bolehkah saya kasih diskon 20% bulan ini?"

  • "Apakah saya harus ganti supplier atau tetap yang sekarang?"

  • "Masih untungkah produk ini kalau harga bahan bakunya naik Rp1.000?"

  • "Produk mana yang marginnya paling besar dan harus lebih giat diiklankan?"

 

Bisnis yang sukses adalah bisnis yang menguasai angkanya. Jangan biarkan kerja keras Anda habis tak berbekas hanya karena Anda malas menghitung modal dasar produk Anda sendiri. Jadikan pemantauan HPP sebagai kebiasaan, dan Anda akan melihat bisnis Anda tumbuh dengan fondasi finansial yang jauh lebih kuat dan menguntungkan.


Tingkatkan kinerja keuangan bisnis Anda dengan workshop "Smart Financial Map"! Daftar sekarang di www.smartfinancialmap.com dan kuasai strategi finansial cerdas untuk bisnis yang lebih sukses. Ambil langkah pasti menuju kesuksesan bisnis Anda hari ini!


ree





Comments


PT Cerdas Keuangan Bisnis berdiri sejak 2023

© 2025 @Ilmukeuangan

bottom of page