Merger dan Akuisisi dari Perspektif Keuangan
- Ilmu Keuangan
- 6 days ago
- 11 min read

Pengantar: Apa Itu Merger dan Akuisisi
Bayangkan Anda punya sebuah kedai kopi yang cukup sukses, lalu ada teman Anda yang juga punya kedai roti di sebelah. Kalian merasa kalau bergabung, pelanggan bisa beli kopi sekaligus roti dalam satu tempat. Nah, di dunia korporat, fenomena ini disebut Merger dan Akuisisi (M&A). Meski sering diucapkan dalam satu napas, keduanya punya sedikit perbedaan cara "mainnya".
Merger itu ibarat pernikahan dua orang yang setara. Dua perusahaan yang ukurannya mirip memutuskan untuk bergabung menjadi satu entitas baru. Nama perusahaannya bisa gabungan, bisa juga nama baru total. Tujuannya adalah untuk menggabungkan kekuatan agar lebih kompetitif. Contohnya seperti merger Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Identitas lama dilebur menjadi satu kekuatan besar yang baru.
Sedangkan Akuisisi itu ibarat Anda membeli toko orang lain. Ada perusahaan yang lebih besar atau lebih kaya (pembeli/akuisitor) yang membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain (target). Dalam akuisisi, perusahaan yang dibeli biasanya tetap ada, tapi pemiliknya sudah berganti. Perusahaan pembeli jadi "bos" barunya. Contohnya saat Facebook membeli Instagram atau WhatsApp. Facebook tidak berubah nama menjadi "Insta-Face", tapi mereka sekarang yang mengendalikan dan memetik keuntungan dari Instagram.
Dari kacamata keuangan, M&A bukan cuma soal ganti nama atau pamer kekuatan. Ini adalah transaksi besar yang melibatkan perpindahan dana, saham, dan aset. Keputusan ini biasanya diambil karena perusahaan merasa pertumbuhan organik (tumbuh sendiri perlahan-lahan) sudah terlalu lambat. Daripada bangun dari nol selama 10 tahun, lebih baik beli yang sudah jadi dalam satu malam. M&A adalah "jalan pintas" strategis untuk menjadi lebih besar, lebih kuat, dan tentu saja, lebih menguntungkan di masa depan.
Alasan Finansial di Balik Merger dan Akuisisi
Kenapa sih sebuah perusahaan mau keluar uang miliaran atau triliunan rupiah cuma buat beli perusahaan lain? Jawabannya bukan cuma buat gaya-gayaan, tapi ada alasan finansial yang sangat logis di baliknya. Alasan yang paling sering kita dengar adalah Sinergi. Dalam matematika M&A, rumusnya bukan 1 + 1 = 2, tapi 1 + 1 harus sama dengan 3. Artinya, gabungan dua perusahaan harus menghasilkan nilai yang lebih besar daripada jika mereka jalan sendiri-sendiri.
Sinergi ini bisa datang dari dua sisi. Pertama, Sinergi Pendapatan. Dengan bergabung, Anda bisa menjual lebih banyak barang ke lebih banyak orang. Misalnya, bank mengakuisisi perusahaan asuransi. Sekarang, setiap nasabah bank bisa ditawari asuransi juga. Pendapatan naik drastis tanpa perlu mencari nasabah baru dari nol. Kedua, Sinergi Biaya. Ini yang paling disukai investor. Kalau dua perusahaan jadi satu, kantor pusatnya tidak perlu dua, sistem IT-nya tidak perlu dua, dan gudangnya bisa digabung. Biaya operasional berkurang, keuntungan jadi lebih tebal.
Selain sinergi, ada alasan Pajak. Terkadang perusahaan yang sangat untung membeli perusahaan yang sedang rugi untuk mengurangi beban pajak secara keseluruhan (karena kerugian bisa jadi pengurang pajak). Ada juga alasan Diversifikasi. Perusahaan tidak mau menaruh semua telurnya dalam satu keranjang. Kalau bisnis utamanya sedang lesu, mereka punya anak perusahaan di bidang lain yang mungkin sedang naik daun. Terakhir, tentu saja untuk Kekuatan Pasar. Dengan membeli kompetitor, persaingan berkurang, dan perusahaan punya kendali lebih besar dalam menentukan harga pasar. Intinya, alasan finansial M&A selalu bermuara pada satu hal: memaksimalkan kekayaan pemegang saham dalam jangka panjang.
Studi Kasus: Akuisisi Sukses di Indonesia
Indonesia punya banyak sejarah M&A yang menarik, tapi salah satu yang paling fenomenal belakangan ini tentu saja lahirnya GoTo. Meskipun ini adalah merger antara Gojek dan Tokopedia, skalanya sangat besar dan memberikan gambaran nyata bagaimana dua raksasa bergabung untuk menguasai ekosistem digital. Dari perspektif keuangan, ini adalah langkah untuk mengamankan aliran uang (cash flow) dari berbagai sisi: transportasi, logistik, pembayaran (GoPay), hingga belanja online.
Contoh lain yang sangat sukses adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) saat mengakuisisi Pinehill Company Limited pada tahun 2020. Ini adalah langkah berani yang sempat bikin investor ketar-ketir karena nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Namun, alasannya sangat masuk akal secara finansial. Pinehill punya pasar mi instan yang sangat kuat di Timur Tengah dan Afrika. Daripada Indofood mulai ekspor sedikit-sedikit dari Indonesia, mereka langsung beli penguasanya di sana. Hasilnya? Indofood langsung jadi pemain mi instan tingkat global dengan jangkauan pasar yang sangat luas.
Ada juga akuisisi Bank Permata oleh Bangkok Bank. Ini menunjukkan betapa menariknya pasar keuangan Indonesia bagi investor luar. Bangkok Bank melihat potensi pertumbuhan di sini jauh lebih tinggi daripada di Thailand yang pasarnya sudah jenuh. Dengan membeli Bank Permata, Bangkok Bank tidak perlu mengurus izin bank baru dari awal yang super sulit. Mereka langsung dapat ribuan nasabah dan sistem yang sudah jalan.
Pelajaran dari kasus-kasus ini adalah: akuisisi sukses bukan cuma soal siapa yang punya uang paling banyak, tapi soal siapa yang punya visi paling jelas. Perusahaan yang sukses biasanya tahu persis "potongan puzzle" mana yang hilang dari bisnis mereka dan bagaimana perusahaan target bisa melengkapinya. Di Indonesia, M&A yang sukses adalah yang mampu menggabungkan kekuatan lokal dengan manajemen atau modal yang lebih kuat tanpa merusak budaya kerja yang sudah ada.
Proses Due Diligence Keuangan
Sebelum Anda membeli mobil bekas, pasti Anda cek dulu mesinnya, remnya, sampai surat-suratnya, kan? Anda tidak mau kan beli mobil yang kelihatannya mengkilap tapi ternyata mesinnya sudah "bobrok" atau ada utang pajak menumpuk? Nah, di dunia bisnis, proses cek-recek ini disebut Due Diligence (Uji Tuntas). Untuk urusan keuangan, ini adalah tahap yang paling menegangkan bagi kedua pihak.
Dalam Due Diligence keuangan, tim akuntan dan auditor akan "membedah" seluruh laporan keuangan perusahaan target selama beberapa tahun terakhir. Mereka tidak cuma melihat apakah perusahaan itu untung, tapi kualitas keuntungannya. Apakah untungnya benar-benar dari jualan produk, atau cuma manipulasi angka di atas kertas? Mereka akan mengecek aliran kas (cash flow). Percuma untung miliaran kalau uang tunainya tidak ada karena semua pelanggannya belum bayar (piutang macet).
Hal lain yang sangat krusial adalah mengecek utang tersembunyi. Seringkali ada perusahaan yang terlihat sehat, tapi ternyata punya utang di bank yang belum dicatat, atau ada tuntutan hukum yang berpotensi bikin perusahaan bayar denda triliunan rupiah di masa depan. Tim Due Diligence juga akan melihat apakah aset-asetnya (seperti tanah, mesin, atau stok barang) benar-benar ada dan nilainya akurat. Jangan sampai di laporan tertulis ada mesin seharga 10 miliar, tapi saat dicek mesinnya sudah karatan dan tidak bisa dipakai.
Proses ini sangat penting karena hasil Due Diligence inilah yang akan menentukan harga jual akhir. Kalau ditemukan banyak "sampah" atau risiko keuangan yang tidak dilaporkan di awal, pembeli bisa minta diskon harga yang besar, atau bahkan membatalkan kesepakatan sama sekali. Due Diligence adalah cara pembeli untuk melindungi diri agar tidak "boncos" atau tertipu saat membeli perusahaan. Ini adalah momen di mana semua kartu dibuka di atas meja.
Negosiasi Nilai Perusahaan
Setelah Due Diligence selesai dan semua angka sudah terlihat, tahap berikutnya adalah Negosiasi Nilai Perusahaan (Valuasi). Di sinilah seni bertemu dengan matematika. Penjual pasti ingin harga setinggi mungkin dengan alasan potensi masa depan, sementara pembeli ingin harga serendah mungkin dengan alasan banyak risiko yang ditemukan. Ini ibarat tawar-menawar di pasar, tapi taruhannya triliunan rupiah.
Ada beberapa cara yang biasa dipakai orang keuangan untuk menentukan harga perusahaan. Yang paling umum adalah EBITDA Multiple. Caranya, mereka melihat keuntungan operasional perusahaan (EBITDA), lalu dikalikan angka tertentu, misalnya 10 kali lipat. Kenapa 10? Tergantung tren industri dan seberapa bagus prospek perusahaan itu. Cara lain yang lebih rumit adalah DCF (Discounted Cash Flow). Di sini, ahli keuangan mencoba meramal berapa banyak uang tunai yang bisa dihasilkan perusahaan ini selama 10-20 tahun ke depan, lalu ditarik nilainya ke harga sekarang.
Namun, negosiasi bukan cuma soal angka di Excel. Ada faktor Premium. Pembeli biasanya harus membayar lebih mahal daripada harga pasar saham saat ini. Kenapa? Karena pembeli mendapatkan "kendali" (control premium). Kalau Anda beli satu lembar saham di bursa, Anda tidak bisa mengatur direkturnya. Tapi kalau Anda beli 51% saham, Anda adalah bosnya. Kekuasaan itu ada harganya.
Selain itu, sinergi yang kita bahas tadi juga masuk dalam hitungan. Kalau pembeli yakin dia bisa menghemat biaya 100 miliar setahun setelah digabung, dia mungkin mau membayar sedikit lebih mahal. Namun, tantangannya adalah jangan sampai terjebak dalam Winner's Curse (Kutukan Pemenang), di mana saking nafsunya ingin menang, pembeli membayar terlalu mahal sehingga di kemudian hari bisnisnya jadi merugi karena beban utang pembelian yang terlalu berat. Negosiasi nilai adalah soal menemukan titik temu di mana pembeli merasa untung, dan penjual merasa dihargai.
Risiko Keuangan dari M&A
Dunia M&A itu tidak selalu indah. Kenyataannya, banyak penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% proses M&A gagal memberikan hasil yang diharapkan. Ada risiko keuangan yang sangat nyata di balik setiap transaksi besar. Risiko yang paling sering terjadi adalah Overvaluation alias membayar terlalu mahal. Terkadang, karena ego direksi atau tekanan persaingan, pembeli membayar harga yang tidak masuk akal. Akibatnya, perusahaan harus menanggung utang besar yang bunganya mencekik, sementara keuntungan tambahan yang dijanjikan tidak kunjung datang.
Risiko kedua adalah Utang yang Membengkak. Banyak perusahaan membeli perusahaan lain dengan cara berutang ke bank (disebut Leveraged Buyout). Bayangkan Anda beli rumah pakai KPR, tapi rumah itu ternyata tidak bisa disewakan seharga cicilannya. Anda akan kesulitan bayar bunga bank, dan itu bisa menyeret seluruh perusahaan menuju kebangkrutan. Risiko keuangan ini makin parah kalau suku bunga bank tiba-tiba naik atau kondisi ekonomi memburuk.
Risiko ketiga adalah Hidden Liabilities (Utang Tersembunyi) yang lolos dari proses Due Diligence. Mungkin ada masalah pajak dari 5 tahun lalu yang baru ketahuan setelah akuisisi selesai, atau ada pensiun karyawan yang dananya tidak mencukupi. Tiba-tiba perusahaan pembeli harus keluar uang ekstra yang tidak ada dalam rencana awal.
Terakhir, ada risiko Kegagalan Integrasi. Dari sisi keuangan, ini berarti biaya untuk menggabungkan dua sistem IT, dua departemen akuntansi, dan dua cara pelaporan ternyata jauh lebih mahal dari yang diperkirakan. Jika proses integrasi berantakan, pelanggan bisa pergi, karyawan ahli mengundurkan diri, dan pendapatan menurun. M&A bukan cuma soal tanda tangan kontrak, tapi soal memastikan uang yang keluar benar-benar bisa menghasilkan uang yang lebih banyak di kemudian hari tanpa membahayakan kesehatan finansial perusahaan induk.
Dampak M&A pada Cash Flow
Dalam keuangan, ada pepatah "Cash is King". Untung besar di atas kertas tidak ada artinya kalau tidak ada uang tunai di bank. Nah, M&A punya dampak yang sangat drastis terhadap Cash Flow (Aliran Kas) sebuah perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemahaman soal ini sangat penting bagi investor dan manajemen agar perusahaan tidak "kehabisan napas" di tengah jalan.
Dalam jangka pendek, M&A biasanya akan menyedot banyak uang tunai. Perusahaan harus membayar harga pembelian (kalau pakai uang tunai), membayar jasa pengacara, konsultan, akuntan, dan bankir investasi yang biayanya tidak murah. Jika perusahaan membiayai akuisisi lewat utang, maka cash flow operasional akan terbebani oleh cicilan pokok dan bunga bank yang rutin setiap bulan. Ini bisa membuat perusahaan jadi lebih "kaku" dan tidak punya dana cadangan untuk hal darurat.
Namun, tujuan jangka panjangnya justru untuk memperkuat cash flow. Dengan sinergi yang berhasil, perusahaan gabungan diharapkan punya aliran kas masuk yang lebih stabil dan besar. Misalnya, dengan menguasai rantai pasokan dari hulu ke hilir, perusahaan tidak perlu lagi membayar margin ke pihak ketiga, sehingga uang tunai yang tersisa di perusahaan jadi lebih banyak. Aliran kas yang tadinya terpecah-pecah di dua perusahaan kini menyatu, memberikan kekuatan finansial yang lebih besar untuk melakukan investasi baru.
Tantangan bagi tim keuangan adalah mengelola masa transisi. Mereka harus memastikan bahwa selama proses integrasi, operasional tetap berjalan lancar dan tidak ada gangguan pada penagihan piutang dari pelanggan. Jika integrasi berjalan buruk, pelanggan bisa telat bayar atau berhenti berlangganan, yang akan merusak aliran kas masuk. Manajemen harus pintar-pintar menyeimbangkan antara membayar utang pembelian dan tetap mengalokasikan uang untuk operasional sehari-hari. Intinya, M&A yang sukses adalah yang mampu mengubah pengeluaran kas besar di awal menjadi aliran kas masuk yang deras dan berkelanjutan di masa depan.
Peran CFO dalam Proses M&A
Jika CEO adalah "sopir" yang menentukan arah kemana perusahaan harus pergi, maka CFO (Chief Financial Officer) adalah "navigasi" sekaligus "mekanik" yang memastikan bensin cukup dan mesin tidak meledak. Dalam proses M&A, peran CFO sangat sentral. Mereka bukan cuma orang yang mencatat angka, tapi arsitek strategi di balik transaksi miliaran dolar.
Tugas pertama CFO adalah sebagai Penilai Realitas. Saat CEO bersemangat ingin membeli perusahaan kompetitor karena alasan visi dan gengsi, CFO-lah yang harus berani berkata, "Harganya masuk akal tidak?" atau "Uangnya ada tidak?". CFO bertugas memimpin tim valuasi untuk menghitung secara jujur apakah kesepakatan ini bakal menguntungkan atau malah bikin rugi. Mereka harus jadi orang yang paling objektif dan dingin di tengah euforia negosiasi.
Kedua, CFO bertanggung jawab atas Struktur Pembiayaan. Mereka harus memutuskan: apakah akuisisi ini dibayar pakai uang tunai yang ada di tabungan perusahaan, pakai utang bank, atau dengan menerbitkan saham baru? Keputusan ini punya dampak besar bagi pemegang saham. Kalau pakai utang terlalu banyak, risiko bangkrut naik. Kalau terbitkan saham terlalu banyak, porsi kepemilikan pemegang saham lama jadi mengecil (dilusi). CFO harus meracik kombinasi yang paling pas agar struktur modal perusahaan tetap sehat.
Terakhir, setelah kesepakatan ditandatangani, CFO memimpin Integrasi Keuangan. Mereka harus menyatukan dua sistem akuntansi yang berbeda, menetapkan standar pelaporan baru, dan memastikan kontrol keuangan tetap terjaga. CFO harus memastikan bahwa sinergi biaya yang dijanjikan di awal benar-benar tercapai dan bukan cuma sekadar angka manis di presentasi PowerPoint. Singkatnya, kesuksesan finansial M&A sangat bergantung pada ketajaman analisis dan ketegasan eksekusi dari seorang CFO.
Tantangan Integrasi Keuangan
Banyak orang menyangka bagian tersulit dari M&A adalah negosiasi harga. Padahal, tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah tanda tangan kontrak, yaitu saat Integrasi Keuangan. Menggabungkan dua departemen keuangan yang punya cara kerja berbeda itu ibarat mencoba menggabungkan dua bahasa yang tidak nyambung. Seringkali, ini menjadi mimpi buruk bagi tim akuntansi.
Tantangan pertama adalah Sistem IT dan Akuntansi. Perusahaan A mungkin pakai sistem SAP, sementara perusahaan B pakai Oracle atau bahkan masih pakai manual. Menyatukan data keuangan mereka agar bisa menjadi satu laporan konsolidasi yang akurat itu sangat rumit dan memakan biaya besar. Kalau datanya tidak sinkron, manajemen tidak bisa mengambil keputusan yang benar karena tidak tahu berapa sebenarnya saldo kas atau total utang mereka hari ini.
Tantangan kedua adalah Standar dan Prosedur. Perusahaan yang satu mungkin punya kebijakan perjalanan dinas yang mewah, sementara yang lain sangat hemat. Yang satu mungkin mengakui pendapatan saat barang dikirim, yang lain saat uang diterima. Menyamakan "aturan main" ini bisa menimbulkan gesekan dan kebingungan di kalangan karyawan. Belum lagi urusan Pajak. Struktur perusahaan baru bisa memicu kewajiban pajak baru yang sangat rumit, apalagi kalau akuisisinya melibatkan perusahaan luar negeri dengan aturan hukum yang berbeda.
Terakhir, jangan lupakan Faktor Manusia. Tim keuangan di perusahaan yang dibeli biasanya merasa cemas akan nasib pekerjaan mereka. Jika tidak dikelola dengan baik, karyawan ahli yang tahu seluk-beluk keuangan perusahaan target bisa saja mengundurkan diri. Padahal, merekalah pemegang "kunci" informasi penting. Integrasi keuangan yang gagal biasanya disebabkan karena manajemen terlalu fokus pada angka-angka di atas kertas, tapi lupa membangun jembatan komunikasi dan sistem yang solid bagi orang-orang yang harus menjalankannya setiap hari.
Kesimpulan: M&A Sebagai Strategi Pertumbuhan
Sebagai penutup, Merger dan Akuisisi (M&A) bukanlah sekadar transaksi jual-beli perusahaan, melainkan sebuah instrumen pertumbuhan tingkat tinggi dalam dunia bisnis. Di tengah persaingan global yang makin gila, perusahaan tidak bisa lagi hanya mengandalkan pertumbuhan organik yang pelan. M&A memberikan kecepatan, jangkauan pasar yang instan, dan kemampuan untuk mendapatkan teknologi atau bakat baru dalam waktu singkat.
Namun, dari perspektif keuangan, kita belajar bahwa M&A adalah pedang bermata dua. Jika dilakukan dengan perencanaan matang, due diligence yang jujur, dan valuasi yang masuk akal, M&A bisa membuat sebuah perusahaan melompat ke level yang jauh lebih tinggi dan menciptakan nilai luar biasa bagi pemegang saham. Tapi sebaliknya, jika didasari oleh ego, kurang perhitungan, atau gagal dalam integrasi, M&A bisa menjadi lubang hitam yang menyedot kekayaan perusahaan dan berujung pada kehancuran.
Poin penting yang harus diingat adalah: Angka tidak pernah berbohong, tapi manusia seringkali melihat angka sesuai keinginan mereka. Keberhasilan finansial M&A ditentukan sejak tahap awal niat beli, ketajaman proses pengecekan, hingga ketekunan dalam menggabungkan dua entitas menjadi satu tim yang solid.
Bagi sebuah bisnis, M&A adalah perjalanan transformasi. Ini adalah strategi untuk bukan hanya menjadi yang terbesar, tapi menjadi yang paling efisien dan paling relevan bagi pelanggan. Pada akhirnya, M&A yang sukses adalah yang mampu membuktikan bahwa gabungan dua kekuatan memang benar-benar bisa menciptakan sesuatu yang lebih berharga daripada jumlah bagian-bagiannya. Strategi ini akan tetap menjadi pilihan utama bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mendominasi pasar masa depan.
Apakah Anda siap untuk menguasai strategi keuangan bisnis yang efektif dan mengubah nasib bisnis Anda? Ikuti e-course "Jurus Keuangan Bisnis" kami sekarang dan temukan rahasia sukses finansial yang berkelanjutan! klik di sini

